Wednesday, January 2, 2013

Eksotisme Kota Lama Semarang

Saya tiba di terminal Terboyo pada sore hari setelah melewati perjalanan panjang dengan bus dari kota Surabaya. Kesan pertama terhadap terminal utama kota Semarang ini; sepi, kotor dan gelap. Saya tak ingin berlama-lama dalam terminal langsung saja saya tanya angkutan menuju pusat kota Semarang. Duh, lagi-lagi saya dibuat kecewa karena ternyata tempat mangkal semua angkutan berada di luar terminal yang jaraknya lumayan jauh. Terpaksa saya harus berjalan di tengah udara kota Semarang yang panas.
Angkutan membawa saya meninggalkan terminal Terboyo yang sudah saya anggap tidak bersahabat. Sore ini saya langsung menuju penginapan di jalan Imam Bonjol yang memang banyak terdapat penginapan murah untuk para backpacker. Lumayan dengan biaya Rp. 50.000 saya sudah dapatkan kamar untuk 2 orang plus kipas angin.
Tempat saya menginap ternyata berada tidak jauh dari kawasan kota lama Semarang. Sehingga besuk paginya saya langsung mengeksplorasinya. Tempat pertama yang ingin saya kunjungi adalah landmark kota lama Semarang, Gereja Blendug. Sepanjang perjalanan dengan menggunakan becak mata saya tak henti-hentinya memandangi bangunan-bangunan tua bergaya Eropa yang tampak indah. Sesekali saya minta abang becak berhenti untuk mengambil gambar.
Pertama yang saya temui adalah Gedung Kantor Pos Pusat berwarna jingga mencolok yang masih terpakai. Di depannya terdapat Tugu Titik Nol Kilometer Semarang. Berikutnya saya melalui Jembatan Mberok. Dulu jembatan ini dibangun oleh Belanda sebagai pintu gerbang memasuki Benteng Segi Lima ‘Vijfhoek’ yang berada di dalam kawasan kota lama atau Out standt. Sekarang jembatan yang melintas di atas kali Semarang ini menjadi pembatas antara jalan Mpu Tantular dan jalan Pemuda. Di sekitar jembatan ini banyak terdapat gedung-gedung tua bersejarah yang eksotis antara lain Gedung Kas Negara, Bank Mandiri, Gedung PTPN XV, dan Gedung PELNI.
Selepas Jembatan Mberok, saya bisa melihat kawasan kota lama Semarang yang sesungguhnya. Kawasan dengan julukan Little Netherland ini sudah tertata lebih baik daripada kota tua Jakarta dan kota lama Surabaya. Jalan-jalannya tampak mulus dan bersih, bangunan tua nya juga masih sedikit terawat. Saya seperti berada di sebuah kota tua pada tahun 1700-an yang pernah saya lihat di film-film Eropa.
Saat tiba di gereja Blendug, saya semakin kagum dengan bangunan-bangunan peninggalan Belanda di kota ini. Eksotis dan megah. Gereja Blendug yang telah berusia lebih 200 tahun ini berhias kubah besar berwarna merah bata yang diapit dua menara kembar. Kubahnya begitu menonjol membulat besar. Nama Blendug diambil dari bentuk kubah ini yang membulat atau dalam bahasa Jawa berarti ‘Mblendug’. Di sebelah gereja terdapat taman kecil yang asri yaitu taman Srigunting. Dari Gereja Blendug saya berjalan kaki untuk menjelajah kota lama Semarang. Karena tak jauh dari tempat ini juga banyak terdapat bangunan-bangunan tua lainnya yang tak kalah indah seperti Stasiun Tawang, Polder Air Tawang, Gedung Marba dan Gedung Marabunta yang mempunyai atap unik berbentuk semut besar. Tak semuanya bisa saya kunjungi. Kebanyakan saya hanya melewatinya saja. Selepas siang dari depan Stasiun Tawang saya memutuskan untuk naik taksi menuju satu lagi ikon kota lama Semarang yang wajib dikunjungi yaitu Lawang Sewu. Melihat letaknya sepertinya Lawang Sewu memang berada di luar kawasan Out Standt. Lawang Sewu berada tak jauh dari pusat kota Semarang berhadapan dengan monumen Tugu Muda.
Sebelum ke Lawang Sewu saya menulusuri dulu jalan Pandanaran untuk makan siang dan menikmati jajanan khas kota Semarang yaitu Lunpia. Jalan Pandanaran merupakan salah satu pusat oleh-oleh di kota Semarang. Di ujung barat jalan inilah gedung Lawang Sewu berdiri dengan megah. Dari jauh saya pandangi Lawang Sewu yang sebelumnya saya kenal hanya dari sebuah acara salah satu TV swasta tentang pemburu hantu. Memasuki Lawang Sewu saya harus membayar Rp. 10.000 dan diikuti seorang pemandu dengan menawarkan tarif Rp. 35.000. Tapi saya tolak pemandu tersebut karena saya pikir saya tidak membutuhkannya setelah melihat area Lawang Sewu yang tidak terlalu luas. Saya lebih tertarik membeli gantungan kunci berbentuk fasad Lawang Sewu dari plat besi seharga Rp. 15.000.
Sesuai namanya, Lawang Sewu adalah sebuah gedung dengan banyak pintu dan jendela. Dulu gedung ini merupakan pusat dari perusahaan perkeretaapian Belanda (NIS). Sekarang menjadi aset milik PT. Kereta Api Indonesia (persero) dan digunakan sebagai museum. Ada lima bangunan di dalam area Lawang Sewu. Saat saya berkunjung hanya dua gedung yang bisa dimasuki. Satu berfungsi sebagai kafe satu lagi sebagai museum yang berisi foto-foto sejarah Lawang Sewu dan kereta api. Saya juga sempat naik ke lantai dua dari gedung yang berfungsi sebagai museum. Lantai duanya kosong terdiri atas puluhan ruangan dengan jendela dan pintu yang tinggi dan besar. Lantai dua merupakan venue terbaik untuk berfoto.
Tentang Lawang Sewu saya sedikit kecewa. Dengan harga tiket sepuluh ribu rupiah ternyata tak banyak yang bisa dilakukan. Tapi saya sungguh puas dengan pemandangan dan suasana di kota lama Semarang. Sepertinya saya harus kembali lagi karena masih banyak yang belum saya eksplorasi. Tunggu saya lagi Semarang!

No comments:

Post a Comment