Eksotisme Kota Lama Semarang
Saya tiba di terminal Terboyo pada sore
hari setelah melewati perjalanan panjang dengan bus dari kota Surabaya.
Kesan pertama terhadap terminal utama kota Semarang ini; sepi, kotor dan
gelap. Saya tak ingin berlama-lama dalam terminal langsung saja saya
tanya angkutan menuju pusat kota Semarang. Duh, lagi-lagi saya dibuat
kecewa karena ternyata tempat mangkal semua angkutan berada di luar
terminal yang jaraknya lumayan jauh. Terpaksa saya harus berjalan di
tengah udara kota Semarang yang panas.
Angkutan membawa saya meninggalkan
terminal Terboyo yang sudah saya anggap tidak bersahabat. Sore ini saya
langsung menuju penginapan di jalan Imam Bonjol yang memang banyak
terdapat penginapan murah untuk para backpacker. Lumayan dengan
biaya Rp. 50.000 saya sudah dapatkan kamar untuk 2 orang plus kipas
angin.
Tempat saya menginap ternyata berada
tidak jauh dari kawasan kota lama Semarang. Sehingga besuk paginya saya
langsung mengeksplorasinya. Tempat pertama yang ingin saya kunjungi
adalah landmark kota lama Semarang, Gereja Blendug. Sepanjang
perjalanan dengan menggunakan becak mata saya tak henti-hentinya
memandangi bangunan-bangunan tua bergaya Eropa yang tampak indah.
Sesekali saya minta abang becak berhenti untuk mengambil gambar.
Pertama yang saya temui adalah Gedung
Kantor Pos Pusat berwarna jingga mencolok yang masih terpakai. Di
depannya terdapat Tugu Titik Nol Kilometer Semarang. Berikutnya saya
melalui Jembatan Mberok. Dulu jembatan ini dibangun oleh Belanda sebagai
pintu gerbang memasuki Benteng Segi Lima ‘Vijfhoek’ yang
berada di dalam kawasan kota lama atau Out standt. Sekarang
jembatan yang melintas di atas kali Semarang ini menjadi pembatas antara
jalan Mpu Tantular dan jalan Pemuda. Di sekitar jembatan ini banyak
terdapat gedung-gedung tua bersejarah yang eksotis antara lain Gedung
Kas Negara, Bank Mandiri, Gedung PTPN XV, dan Gedung PELNI.
Selepas Jembatan Mberok, saya bisa
melihat kawasan kota lama Semarang yang sesungguhnya. Kawasan dengan
julukan Little Netherland ini sudah tertata lebih baik daripada
kota tua Jakarta dan kota lama Surabaya. Jalan-jalannya tampak mulus
dan bersih, bangunan tua nya juga masih sedikit terawat. Saya seperti
berada di sebuah kota tua pada tahun 1700-an yang pernah saya lihat di
film-film Eropa.
Saat tiba di gereja Blendug, saya
semakin kagum dengan bangunan-bangunan peninggalan Belanda di kota ini.
Eksotis dan megah. Gereja Blendug yang telah berusia lebih 200 tahun ini
berhias kubah besar berwarna merah bata yang diapit dua menara kembar.
Kubahnya begitu menonjol membulat besar. Nama Blendug diambil dari
bentuk kubah ini yang membulat atau dalam bahasa Jawa berarti ‘Mblendug’.
Di sebelah gereja terdapat taman kecil yang asri yaitu taman
Srigunting. Dari Gereja Blendug saya berjalan kaki untuk menjelajah kota
lama Semarang. Karena tak jauh dari tempat ini juga banyak terdapat
bangunan-bangunan tua lainnya yang tak kalah indah seperti Stasiun
Tawang, Polder Air Tawang, Gedung Marba dan Gedung Marabunta yang
mempunyai atap unik berbentuk semut besar. Tak semuanya bisa saya
kunjungi. Kebanyakan saya hanya melewatinya saja. Selepas siang dari
depan Stasiun Tawang saya memutuskan untuk naik taksi menuju satu lagi
ikon kota lama Semarang yang wajib dikunjungi yaitu Lawang Sewu. Melihat
letaknya sepertinya Lawang Sewu memang berada di luar kawasan Out
Standt. Lawang Sewu berada tak jauh dari pusat kota Semarang
berhadapan dengan monumen Tugu Muda.
Sebelum ke Lawang Sewu saya menulusuri
dulu jalan Pandanaran untuk makan siang dan menikmati jajanan khas kota
Semarang yaitu Lunpia. Jalan Pandanaran merupakan salah satu pusat
oleh-oleh di kota Semarang. Di ujung barat jalan inilah gedung Lawang
Sewu berdiri dengan megah. Dari jauh saya pandangi Lawang Sewu yang
sebelumnya saya kenal hanya dari sebuah acara salah satu TV swasta
tentang pemburu hantu. Memasuki Lawang Sewu saya harus membayar Rp.
10.000 dan diikuti seorang pemandu dengan menawarkan tarif Rp. 35.000.
Tapi saya tolak pemandu tersebut karena saya pikir saya tidak
membutuhkannya setelah melihat area Lawang Sewu yang tidak terlalu luas.
Saya lebih tertarik membeli gantungan kunci berbentuk fasad Lawang Sewu
dari plat besi seharga Rp. 15.000.
Sesuai namanya, Lawang Sewu adalah
sebuah gedung dengan banyak pintu dan jendela. Dulu gedung ini merupakan
pusat dari perusahaan perkeretaapian Belanda (NIS). Sekarang menjadi
aset milik PT. Kereta Api Indonesia (persero) dan digunakan sebagai
museum. Ada lima bangunan di dalam area Lawang Sewu. Saat saya
berkunjung hanya dua gedung yang bisa dimasuki. Satu berfungsi sebagai
kafe satu lagi sebagai museum yang berisi foto-foto sejarah Lawang Sewu
dan kereta api. Saya juga sempat naik ke lantai dua dari gedung yang
berfungsi sebagai museum. Lantai duanya kosong terdiri atas puluhan
ruangan dengan jendela dan pintu yang tinggi dan besar. Lantai dua
merupakan venue terbaik untuk berfoto.
Tentang Lawang Sewu saya sedikit kecewa.
Dengan harga tiket sepuluh ribu rupiah ternyata tak banyak yang bisa
dilakukan. Tapi saya sungguh puas dengan pemandangan dan suasana di kota
lama Semarang. Sepertinya saya harus kembali lagi karena masih banyak
yang belum saya eksplorasi. Tunggu saya lagi Semarang!
No comments:
Post a Comment