Thursday, July 10, 2014

Kisah Pegunungan Menoreh


Kisah Pegunungan Menoreh


IMG_0761
Karst Menoreh, sisi Borobudur.
Ada satu jalur perbukitan di sisi selatan Magelang yang namanya sudah sangat terkenal. Perbukitan itu membentang di sisi selatan Magelang, sampai menembus Kabupaten Kulon Progo dan Purworejo. Menoreh menjadi batas sisi selatan Magelang dan menjadikannya benteng alam yang mengurung Magelang dengan jalur gunung api dan perbukitan yang kukuh berdiri.
Menoreh merupakan jalur karst, terbentuk alamiah  dan diduga terbentuk dari hasil pengangkatan dasar laut menjadi dataran di masa silam seperti karst-karst yang lain. Memiliki bentangan seluas 15 kilometer persegi dan masuk ke dalam bagian Kulon Progo, Magelang dan Purworejo. Bentuk rangkaian Karst Menoreh berupa perbukitan yang curam dan runcing pada puncaknya.
Bagi masyarakat Jawa tradisional yang tinggal di Magelang terutama di sisi selatan, Kulon Progo dan beberapa wilayah Purworejo, Karst Menoreh ini memiliki nilai mitologis. Puncak tertinggi Karst Menoreh yang disebut Suroloyo adalah sebuah tempat yang dipercaya sebagai titik tengah pulau Jawa adalah kahyangan tempat dewa-dewa bersemayam. Penduduk lokal juga meyakini bahwa Semar, seorang tokoh Punakawan dalam dunia pewayangan bersemayam di Puncak Suroloyo.
Keberadaan Suroloyo dalam dunia spiritual masyarakat Jawa tradisional di tempat – tempat tersebut cukup kuat. Hal ini bisa dilihat pada saat 1 Suro, dimana banyak yang melakukan tradisi berjalan kaki sampai Puncak Suroloyo sebagai laku ngalap berkah. Pada 1 Suro itu juga di Puncak Suroloyo menjadi tempat upacara sakral bagi masyarakat di desa-desa sekitar Suroloyo, Menoreh dan daerah-daerah sepanjang jalur Karst Menoreh, orang – orang berbondong-bondong datang dan mengikuti upacara tersebut.
Panorama Karst Menoreh pun sangat memukau mata. Bentang bukit kapur berbaris dengan gagah, konturnya garang dengan hutan yang cukup rapat. Jika sampai pada titik tertinggi Menoreh tadi, maka akan tampak sekali panorama yang menggetarkan dada. Jika dilihat dari kejauhan atau dari dataran yang lebih rendah, maka Karst Menoreh ini tak ubahnya seperti benteng raksasa yang memanjang dari ujung ke ujung.
Perihal bentang alam Menoreh yang mirip benteng ini juga telah mencatatkan Menoreh dalam kisah sejarah bangsa. Pada era Perang Diponegoro, Pegunungan Menoreh ini dijadikan basis pertahanan pasukan Pangeran Diponegoro dalam melawan serdadu-serdadu VOC. Karst Menoreh telah menjadi benteng alami bagi pasukan Pangeran Diponegoro dan menjadi tempat menyepi dan mengatur strategi.
Petilasan perjuangan Pangeran Diponegoro di Menoreh ini sekarang masih bisa ditelusuri jejaknya di Salaman, Kabupaten Magelang. Di Salaman terdapat Langgar Agung Pangeran Diponegoro, dimana dahulu di Langgar itulah Pangeran Diponegoro mengatur strategi melawan VOC. Di areal perbukitan tak jauh dari Langgar Agung itu juga terdapat Gua yang dikenal dengan Gua Lawa. Konon katanya, dulu adalah tempat Pangeran Diponegoro menyepi, bermunajat dan meminta petunjuk pada Yang Kuasa.
Dalam dunia sastra, Karst Menoreh juga memiliki catatan yang harum. Beberapa dekade lalu, ribuan orang menanti terbitnya koran Kedaulatan Rakyat setiap harinya demi mengikuti serial Api Di Bukit Menoreh karya sastrawan kondang, Singgih Hadi Mintardja. Tak jarang orang-orang membeli Kedaulatan Rakyat hanya demi membaca kisah bersambung dari Api Di Bukit Menoreh itu.
Singgih Hadi Mintardja yang kemudian kondang dengan nama pena S.H Mintardja adalah salah satu maestro cerita silat. Karya monumentalnya Api Di Bukit Menoreh tadi mencapai 396 episode, 1 episodenya bisa disamakan dengan sebuah buku dengan tebal 80 halaman. Termasuk salah satu cerita bersambung terpanjang dalam sejarah sastra modern Indonesia yang mulai tayang di Kedaulatan Rakyat di era 1970 – an dan baru berhenti pada era 1990-an saat meninggalnya S.H Mintardja. Bahkan Api Di Bukit Menoreh pun sebenarnya belum berakhir ceritanya, nggantung. Dan dipaksa berakhir karena meninggalnya sang pengarang.
Api Di Bukit Menoreh yang mengambil setting di Karst Menoreh ini bahkan sempat menjadikan roman tadi sebagai mitos. Tak jarang banyak yang menganggap cerita tersebut adalah fakta sejarah. Hal ini merupakan hasil kepiawaian S.H Mintardja meramu kisah silat dengan setting sejarah di era kerajaan Mataram Islam. Beberapa nama yang merupakan tokoh di cerita tersebut bahkan sampai melekat erat bagi sebagian pembaca dan menganggapnya benar-benar ada.
Menoreh tetap kukuh berdiri sampai sekarang, pegunungan yang gagah di selatan Jawa ini sebenarnya memiliki posisi yang cukup strategis dan potensial dikembangkan. Dengan berbagai macam kisah – kisah tentang Menoreh tadi, banyak sekali keindahan dari Menoreh yang bisa dinikmati. Sebuah Karst dengan potensi unik ini sebenarnya adalah harta karun yang dimiliki oleh Magelang dan sekitarnya.
Sayang sekali, banyak yang belum ngeh dengan Menoreh. Di Magelang sendiri, beberapa wilayah di Menoreh identik dengan ketertinggalan dan akses yang rusak. Selain itu kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap potensi Karst Menoreh masih minim. Kita bisa melihat ketidakpedulian tadi ada pada beroperasinya pabrik marmer di Salaman, berdekatan dengan Langgar Agung Diponegoro. Dimana lokasi pabrik marmer tersebut satu kompleks dengan Gua Lawa yang konon tempat semedi Pangeran Diponegoro. Bukit – bukit disitupun digerus untuk marmer, walaupun kabarnya Gua Lawa masih dipertahankan sampai sekarang.
Bagi masyarakat Magelang, Menoreh adalah sebuah keindahan di sisi selatan, tampak cantik dipandang dari Borobudur ataupun dari kejauhan. Bentang alam tadi menunggu polesan untuk dikembangkan. Beberapa yang jeli bisa mengolah kecantikan Karst Menoreh menjadi semakin bersinar, seperti contohnya Amanjiwo, sebuah hotel kelas dunia yang bertempat di Menoreh.
Menoreh, sama cantiknya dengan bentang alam lainnya di Magelang. Dan sebenarnya banyak sekali tempat menarik di sepanjang jalur Karst Menoreh. Jika berkesempatan, saya sarankan jelajahilah Menoreh dengan trekking/hiking. Di era 1990-an, Karst Menoreh adalah salah satu tempat favorit tujuan hiking, biasanya mengambil rute dari Borobudur dan finish di Suroloyo, mengikuti jalur para pelaku lakon muncak ke Suroloyo di malam 1 Suro orang-orang Jawa tradisonal. Dengan kecantikannya dan daerah yang sepi nan membuai, Karst Menoreh adalah alternatif lain untuk berkontemplasi di Magelang.

Wednesday, July 9, 2014

Goa Jepang Bandung

Sebuah tempat yang menyimpan banyak misteri, karena suasananya yang masih asri, dipenuhi pohon di sana sini, bahkan cenderung terlihat agak angker. Banyak mitos yang timbul di sekitar daerah ini, yang tidak lain adalah misteri dari dua gua yang teronggok di sana, yaitu gua Belanda dan gua Jepang. Gua Belanda memang lebih luas dan terang dibandingkan dengan Gua Jepang, namun keduanya konon menyimpan kisah misteri yang masih belum terpecahkan hingga saat ini – salah satunya adalah penampakan prajurit jaman Belanda dan jaman Jepang. Selain itu, banyak isu yang mengutarakan bahwa di Tahura Dago Pakar ini merupakan tempat dimana Prabu Siliwangi – yang bernama asli Sri Baduga Maharaja, seorang prabu dari Kerajaan Pakuan, Pajajaran – berada, sehingga seringkali daerah ini dikaitkan dengan suatu kisah misteri tiada akhir.         

         Gua Jepang dan Belanda ini berada didalam Taman Hutan Ir. Juanda - Bandung. Untuk masuk kesini dikenakan tarif Rp. 7.500/orang dan Rp. 5000/motor. Kalau kalian ingin sekalian olahraga, bisa masuk melalui pintu depan dan jalan kaki ke arah gua. Menurut saya jauh sih, makanya saya pake motor aja. Hihihi. Dua buah gua yang hanya terpisahkan jarak kurang lebih 400 meter tersebut memiliki nama yang disesuaikan dengan negara penjajah yang berkuasa saat gua tersebut di bangun. Gua Belanda yang dibangun pada tahun 1918 memiliki umur yang sedikit lebih tua dibandingkan Gua Jepang yang baru dibangun pada tahun 1942.Gua Jepang merupakan peninggalan Perang Dunia II. Sebagai sarana pertahanan militer di zaman Jepang pada tahun 1942-1945, terutama setelah Jepang mempertahankan diri dari kedatangan sekutu di Indonesia .

         Gua Jepang ini dibangun untuk memenuhi keperluan perang gerilya karena Jepang memperkirakan bahwa tentara sekutu akan datang melewati laut selatan dan mendarat di sekitar pantai Parangtritis. Di gua ini di temukan 18 bangunan bunker yang sebagian besar masih dalam keadaan utuh. Bentuk bunker tersebut beranekaragam, serta mempunyai fungsi yang berlainan pula, misalnya sebagai tempat pengintaian, ruang tembak, ruang pertemuan, gudang dan dapur. Ketebalan dinding rata-rata 50-70 cm , dari bahan beton bertulang, semen dan batu padas yang sudah tersedia di sekitarnya. Bunker-bunker tersebut dibangun saling berdekatan (30 m), serta dihubungkan dengan parit perlindungan yang berada di luar setinggi (1 m).

         Pertama, saya menuju Gua Jepang. Sebenarnya bisa mengendarai motor sampai ke depan gua. Cuma males juga banyak tukang parkir abal-abal. Guanya gelap dan lembap. Ukuran gua yang cukup besar ditambah dengan lorong-lorong ventilasi udara di beberapa sudut, mengakibatkan suasana didalam gua tidaklah pengab. Lorong-lorong panjang dan banyaknya persimpangan didalam gua tersebut cukup membingungkan bagi mereka yang pertama kali memasuki gua. Jujur aja, saya takut gelap. Udara lembab juga membuat alergi saya kambuh. Jadi saya tidak masuk terlalu dalam.



        Gua Jepang masih memiliki struktur bangunan seperti asalnya. Dinding-dinding gua dari batu karang yang keras masih belum dilapisi dengan semen seperti apa yang terjadi pada Gua Belanda. Di dalam gua ini juga tidak terdapat instalasi penerangan. Sepertinya gua ini belum selesai sepenuhnya semenjak dibuat tahun 1942. Bukan hal yang aneh, melihat dinding gua yang keras pastilah membutuhkan waktu yang lama untuk membikin gua selebar dan seluas itu. Terlebih pada saat itu alat yang digunakan untuk membuat gua masih berupa alat-alat tradisional semacam linggis dan cangkul yang tentunya dibutuhkan pekerja dalam jumlah yang banyak sekali.


        Setelah puas di Gua Jepang, saya ke Gua Belanda. Lorong-lorong yang berada dalam gua pada bagian dindingnya sudah dilapisi dengan semen, sementara pada bagian atas terdapat instalasi penerangan yang sudah ada sejak dulu, tapi sudah tidak berfungsi dengan baik. Mungkin memang sengaja tidak diaktifkan untuk memberi peluang pada penduduk sekitar menawarkan jasa penyewaan lampu senter. Harganya lumayan mahal, Rp. 3000, trus tukang senternya rada maksa lagi agar barangnya mau kita sewa. 


         Kedua gua tersebut memang merupakan bagian saksi sejarah yang mewarnai perjuangan bangsa Indonesia. Telah banyak korban yang berjatuhan untuk membangun kedua gua tersebut. Keberadaan kedua gua tersebut nampaknya pantas menjadi bukti masa lalu yang coba mengingatkan bahwa bagaimanapun juga perang ataupun penjajahan adalah salah satu bentuk karya manusia untuk menghancurkan dirinya sendiri, suatu hal yang sebaiknya tidak boleh terjadi lagi di masa-masa mendatang.

Sejarah Dan Budaya Asli Pekanbaru

Sejarah Dan Budaya Asli Pekanbaru

Sejarah dan Budaya Asli Pekanbaru - Kota Pekanbaru, siapa yang tak kenal dengan Pekanbaru saat ini? Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau yang oleh masyarakat Indonesia dikenal dengan hasil buminya yang melimpah dan daerah yang kental akan tradisi nilai-nilai kemelayuannya. Keberadaan Kota Pekanbaru yang ramai dan maju inipun menyimpan sejarah dan cerita tersendiri bagi masyarakat Riau. Ada dua versi mengenai asal-mula kota ini yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat.Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin (kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi Muara Sungai Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M.), menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang). Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang.Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M., berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu. Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Mulai saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharu lebih populer disebut dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah daerah ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau.Jauh sebelum Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah, putra Sultan Abdul Djalil Rahmat Syah memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak dari Sungai Mempura ke Senapelan pada 1763 Masehi, Petapahan dan Teratak Buluh juga menjadi pusat perdagangan yang cukup ramai pada saat itu. Kedua daerah ini tempat berkumpulnya para pedagang dari pedalaman Sumatera membawa hasil pertanian, hasil hutan, dan hasil tambang.Oleh para pedagang, hasil pertanian, hasil hutan dan hasil tambang tersebut mereka bawa ke Singapura dan Malaka mengunakan perahu. Untuk jalur perdagangan Sungai Kampar, pusat perdagangannya terletak di Teratak Buluh. Sedangkan pusat perdagangan jalur Sungai Siak terletak di Petapahan. Perdagangan jalur Sungai Kampar kondisinya kurang aman, perahu pedagang sering hancur dan karam dihantam gelombang (Bono) di Kuala Kampar dan sering juga terjadi perampokan yang dilakukan oleh para lanun. Sedangkan Sungai Siak termasuk jalur perdagangan yang cukup aman.Senapelan ketika itu hanya sebuah dusun kecil yang letaknya di kuala Sungai Pelan, hanya dihuni oleh dua atau tiga buah rumah saja (sekarang tepatnya di bawah Jembatan Siak I). Pada saat itu di sepanjang Sungai Siak, mulai dari Kuala Tapung sampai ke Kuala Sungai Siak (Sungai Apit) sudah ada kehidupan, hanya pada saat itu rumah-rumah penduduk jaraknya sangat berjauhan dari satu rumah ke rumah lainnya. Ketika itu belum ada tradisi dan kebudayaan, yang ada hanya bahasa, sebagai alat komunikasi bagi orang-orang yang tinggal di pinggir Sungai Siak.Bahasa sehari-hari yang mereka pakai adalah bahasa Siak, bahasa Gasib, bahasa Perawang dan bahasa Tapung, karena orang-orang inilah yang lalu-lalang melintasi Sungai Siak. Pada saat itu pengaruh bahasa Minang, bahasa Pangkalan Kota Baru dan bahasa Kampar belum masuk ke dalam bahasa orang-orang yang hidup di sepanjang Sungai Siak.Setelah Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak dari Sungai Mempura ke Senapelan, pembesar-pembesar kerajaan serta orang-orang dalam kerajaan serta keluarganya ikut pindah ke Senapelan. Dan pada saat itulah tradisi serta budaya, bahasa sehari-hari terbawa pindah ke Senapelan.Di Senapelan, sultan membangun istana (istana tersebut tidak terlihat lagi karena terbuat dari kayu). Sultan juga membangun masjid, masjid tersebut berukuran kecil, terbuat dari kayu, makanya masjid tersebut tidak bisa kita lihat lagi sekarang ini. Dari dasar masjid inilah menjadi cikal bakal Masjid Raya Pekanbaru di Pasar Bawah sekarang ini.Sultan juga membangun jalan raya tembus dari Senapelan ke Teratak Buluh. Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah membangun pasar, yang aktivitasnya hanya sepekan sekali. Belum sempat Senapelan berkembang, Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah wafat pada 1765 masehi dan dimakamkan di samping Masjid Raya Pekanbaru, sekarang dengan gelar Marhum Bukit.Pasar pekan dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali yang dibantu oleh ponakannya Said Ali (Anak Said Usman). Di masa Raja Muda Muhammad Ali inilah Senapelan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pasar yang dibangun yang pelaksanaannya hanya sekali sepekan melahirkan kata Pekanbaru. Pekan (berarti pasar sekali sepekan). Baru (baru dibangun saat itu). Saat itulah nama Senapelan lama kelamaan semakin menghilang, orang lebih banyak menyebut Pekanbaru.Setelah Pekanbaru menjadi ramai maka muncullah para pendatang dari pelosok negeri mulai dari Minang Kabau, Pangkalan Kota baru, Kampar, Taluk Kuantan, Pasir Pengaraian, dan lain-lain. Awalnya mereka berdagang, lama kelamaan mereka menetap. Dengan menetapnya para pedagang tersebut di Pekanbaru lalu mereka melahirkan generasi (anak, cucu, cicit). Anak, cucu, dan cicit tersebut menjadi orang Pekanbaru. Masing-masing pedagang yang datang dan menetap di Pekanbaru membawa bahasa serta tradisi dari asal daerah mereka masing-masing. Lalu mereka wariskan kepada anak cucu dan cicit mereka. Dari situlah mulai kaburnya bahasa, tradisi asli Pekanbaru yang berasal dari Kerajaan Siak.Kalau ingin tahu lebih jelas lagi mengenai sejarah, bahasa serta tradisi asli Pekanbaru, tanyakan kepada orang-orang Pekanbaru yang nenek moyang mereka berasal dari Siak, atau nenek moyang mereka orang-orang yang hidup di dalam lingkungan Kerajaan Siak. Mustahil para pedagang yang datang dan menetap di Pekanbaru menceritakan kepada anak cucu mereka tentang sejarah dan tradisi Pekanbaru.Yang pasti mereka tanamkan ke dalam pikiran anak cucu mereka bagaimana cara berdagang yang baik dan sukses. Dalam hal ini peran Lembaga Adat Kota Pekanbaru sangat penting sekali, untuk meluruskan dan menjelaskan sejarah dan tradisi asli Pekanbaru. Maka dari itu pengurus Lembaga Adat Kota Pekanbaru mau tak mau harus tahu sejarah serta adat istiadat asli Pekanbaru. Karena Lembaga Adat tempat orang minta petunjuk, minta pendapat dan minta petuah.

Semarang, Kota Metropolitan Terbesar Kelima Di Indonesia

Semarang, Kota Metropolitan Terbesar Kelima Di Indonesia

Tahukah Anda, jika kota Semarang saat ini menurut mesin pencari raksasa, Google, kota lumpia merupakan kota terbesar kelima setelah Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Data ini diambil dari laman Wikipedia.
Mungkin Anda akan bertanya-tanya bagaimana data ini diperoleh. Silahkan cek dengan mesin pencari tersebut lalu ketikkan nama “Semarang”. Kami menggunakan google chrome sebagai website pencari. Data tersebut terpampang sebelah kanan.
Setelah ditelusuri ke laman Wikipedia, didapatkan informasi seperti berikut
Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, Indonesia sekaligus kota metropolitan terbesar kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Sebagai salah satu kota paling berkembang di Pulau Jawa, Kota Semarang mempunyai jumlah penduduk yang hampir mencapai 2 juta jiwa.
Bahkan, Area Metropolitan Kedungsapur (Kendal, Demak, Ungaran Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Purwodadi Grobogan) dengan penduduk sekitar 6 juta jiwa, merupakan Wilayah Metropolis terpadat ke 4, setelah Jabodetabek (Jakarta), Bandung Raya dan Gerbangkertosusilo (Surabaya).
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan Semarang ditandai pula dengan munculnya beberapa gedung pencakar langit di beberapa sudut kota. Sayangnya, pesatnya jumlah penduduk membuat kemacetan lalu lintas di dalam Kota Semarang semakin parah.
Sumber : Wikipedia

Masakan Tradisional Jawa Tengah

Masakan Tradisional Jawa Tengah

  • Lumpia Semarang. Makanan ini cukup khas dan sangat nikmat jika disantap saat hangat. Lebih enak lagi jika ditambahkan dengan sedikit saus kental manis yang membuat rasa dari lumpia semarang ini sangat banyak disukai para wisatawan. Di dalamnya terdapat rebung, ayam, telur, dan udang yang sangat enak dan pasa ketika dipadukan dengan saus kental manisnya.

  • Soto Kudus. Kudus memang terkenal dengan sotonya yang khas dan nikmat. Memang sepintas soto tersebut sama seperti soto pada umunya, namun setelah anda mencicipi rasanya, tentu anda akan merasakan kenikmatan tersendiri yang akan membuat anda datang lagi untuk menikmati soto Kudus ini. Ada 2 pilihan untuk soto kudus, yaitu soto ayam dan soto kerbau.

  • Nasi Gandul Pati. Nasi gandul ini memang sangat khas bumbu dan rasanya ketika dinikmati langsung dari kota Pati. Kuah yang segar dan lauk daging sapi yang sudah diolah menjadi pelengkap untuk menikmati nasi gandul ini.


  • Nasi Liwet Solo.  Nasi liwet adalah nasi gurih yang dimasak dengan kelapa, dan disajikan dengan sayur labu siam, daging ayam yang dipotong kecil-kecil. Rasanya yang gurih dan nikmat akan membuat lidah dan perut anda ingin selalu memakannya.

  • Mendoan Purwokerto. Mendoan sendiri berarti memasak dengan minyak panas yang banyak dengan cepat sehingga masakan tidak matang benar. Meskipun tidak benar - benar matang, mendoan ini sangat aman untuk dikonsumsi karena tempe yang menjadi bahan dasarnya memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi.

Masakan Tradisional


Itulah 5 masakan tradisional khas jawa tengah yang bisa anda nikmati ketika berkunjung di jawa tengah. Jangan sampai anda melewatkan 5 masakan di atas, karena sekali mencoba anda akan merasa ketagihan dan ingin mencobanya kembali.